Profil Ustadz Zaitun

Sekitar tahun 1984, beberapa Mahasiswa Islam di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, sepakat menggelar pengajian di kampus. Muncul suatu masalah kecil, siapa dai yang akan diundang?

Masalah tersebut menjadi besar manakala tak kunjung ditemukan dai yang akrab dengan komunitas kampus. Organisasi massa Islam yang ada di sana kurang dekat dengan mahasiswa. Sementara komunitas kampus umum seperti Unhas tak memiliki dai yang menguasai ilmu-ilmu islam secara memadai.

Masalah ini diam-diam mengendap di benak salah seorang mahasiswa Unhas kala itu. Ia bernama Zaitun Rasmin, mahasiswa Fakultas Pertanian semester 4. Menurutnya kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada mahasiswa yang mau mengorbankan waktunya untuk memperdalam ilmu agama.

Maka, ia dan rekan-rekannya mulai gencar mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk bekal dakwah. Rupanya ini saja tidak cukup.
Terbesitlah niat di hati Zaitun untuk banting setir. “Biarlah saya fokus di dakwah, sementara teman-teman melanjutkan kuliah,” ujar Zaitun yang akhirnya memutuskan berhenti kuliah. Sejak itu, Zaitun muda mulai menghabiskan waktunya dengan belajar bahasa arab.

Sembari belajar, Zaitun tetap menjalankan aktivitas dakwahnya. Malah, untuk memuluskan jalan dakwah ini, ia mendirikan sebuah Yayasan bernama Fathul Mu'in.

Zaitun lebih banyak belajar bahasa Arab secara otodidak. Maklum, tenaga pendidik yang menguasai bahasa arab saat itu sangat kurang. Keadaan seperti ini lagi-lagi membuat hatinya risau. Ia merasa belum memenuhi syarat untuk menjadi seorang dai, yaitu menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar'i.

Maka, berangkatlah Zaitun ke Jakarta untuk menuntut ilmu di LPBA (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, sekarang berubah nama LIPIA) untuk mengobati kerisauannya.

Kurang lebih 1,5 tahun menuntut ilmu di LPBA, Zaitun mendapat anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) berupa beasiswa belajar ke Madinah. Selama 4 tahun ia mendalami ilmu syariah di Universitas Islam Madinah. Selesai kuliah tahun 1995. Zaitun kembali ke Makassar untuk melanjutkan dakwah.

Pada tanggal 19 Februari 1998, yayasan yang ia dirikan berubah namanya menjadi Wahdah Islamiyah. “Kami memiliki harapan dan cita-cita besar. Ke depan, kami ingin melihat persatuan umat Islam di atas kebenaran,” kata Zaitun berharap.

Di Indonesia bagian Timur inilah harapan dan cita-cita ia bangun. Baginya, untuk membangun cita-cita itu, dibutuhkan banyak tenaga dai yang berilmu. Wujud dari itu semua, bersama dengan kawan-kawannya, ia mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) pada tahun 1998. Sekolah mereka beri nama Ma'had 'Aly Al Wahdah, berada di bawah naungan Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI).

Selain sekolah tinggi, mereka juga mendirikan sejumlah TKA dan TPA, beberapa amal usaha seperti BMT, toko buku, dan perkebunan.

“Ini murni dibuat oleh anak-anak dari Timur (Makassar) dan tempatnya hanya masjid. Pada perkembangannya, alhamdulillah, kami mulai mendapatkan bantuan (dari donatur),”akunya.

Sejak tahun 2002, Wahdah Islamiyah telah berubah menjadi organisasi masyarakat (ormas) Islam. Ormas ini kian lama kian tumbuh menjadi besar di Sulawesi. Hingga kini mereka telah memiliki 35 cabang dan 43 derah binaan. Beberapa diantaranya bahkan berada di luar Sulawesi.

Untuk mengetahui bagaimana upaya Zaitun mengembangkan dakwah bersama ormas yang dibangunnya, serta bersinergi dengan ormas-ormas Islam lain di Sulawesi, wartawan suara Hidayatullah, Ahmad Damanik dan Masykur mewawancarai pria yang lahir 43 tahun silam ini.

Wawancara ini dilakukan secara bertahap. Sebagian dilakukan melalui sambungan telepon menjelang tengah malam usai Zaitun pulang dari pertemuan ormas Islam di Makassar, selebihnya dilakukan di sela-sela aktivitas dakwahnya di Jakarta. Berikut petikannya.

Apa yang mendasari perubahan Wahdah Islamiyah dari yayasan menjadi ormas?
Kami melihat semakin lama yayasan dengan segala amal usahanya kian berkembang. Alhamdulillah. Anggota Wahdah semakin hari semakin bertambah.

Lalu pada tahun 2000-an, terbit undang-undang yang tidak membolehkan yayasan memiliki keanggotaan. Yayasan hanya untuk badan hukum yang di dalamnya tidak ada anggota.

Karena peraturan baru ini kami harus mengubah diri. Apalagi kami memiliki anggota yang terus dibina. Maka kami mendaftarkan diri menjadi ormas pada tahun 2002 ke Dirjen Kesbangpol Depdagri. Pada saat itu, Wahdah sudah mempunyai 20 cabang se-Indonesia.

Mengapa lebih fokus pada wilayah Timur?
Yang pertama, karena kami orang Timur. Kami besar dan lahir di Makassar. Maka secara alamiah kami memulai dan mengembangkan dakwah disana.

Alhamdulillah, dimulai dari Makassar, kami berkembang ke wilayah lain di Sulawesi Selatan hingga beberapa daerah di Indonesia Timur.

Alasan lain, dibandingkan wilayah Barat, wilayah timur masih sangat sedikit proses dakwah. Namun, bukan berarti tidak ada kewajiban untuk mengembangkan dakwah ke wilayah Barat. Dengan segala hormat kepada keseluruh ormas Islam lainnya kami juga ingin berpartisipasi mengembangkan dakwah di daerah Barat.

Makanya, sekarang kami membuka cabang dan daerah binan di beberapa daerah di Sumatera, seperti Aceh dan Lampung.

Apa tantangan yang paling menonjol dakwah di wilayah Timur?
Saya kira tantangannya sama saja, Timur maupun Barat. Secara umum, kaum Muslimin di Indonesia saat ini kurang peduli dan memahami ajaran Islam. Tantangan lain adalah arus modernisasi, pengaruh media komunikasi, apalagi televisi. Ini tantangan yang tidak kecil dalam dakwah. Kami menyadari tugas ini tidak ringan. Tapi kami tetap optimis, insya Allah, jika kami terus bekerja, bersinergi dengan komponen dakwah yang lain, kelak akan terjadi perubahan yang signifikan pada umat kita.

Kalau dari segi ideologi gerakan, Wahdah menginduk kemana?
Tidak ada. Wahdah adalah organisasi independen seratus persen. Tidak ada induknya di dalam atau luar negeri.

Wahdah Islamiyah adalah ormas Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, mengikuti paham ahlussunnah wal jama'ah.

Bagaimana rekrutment kader di Wahdah?
Seperti biasa melalui dakwah di majelis taklim, pengajian di masjid-masjid, LDK, dan daurah syar'iyah. Mereka yang serius ingin menuntut ilmu, memperdalam agama, kami bina lewat berbagai program khusus. Jika ada yang ingin lebih memperdalam secara intensif dan sistematis, kami masukkan ke STIBA atau program tadribut du'at.

Apakah ada tingkatan para kader?
Tentu saja ada. Ada kader pemula, lanjutan, dan da'i.

Apa peran anda sendiri dalam membina kader?
Saya membina kader-kader utama dan para ustadz melalui halaqah. Saya juga mengarahkan pengurus, dan berkunjung ke berbagai cabang.

Banyak ormas yang pecah karena perbedaan paham antar kader. Bagaimana Wahdah menyikapi hal ini agar ini tidak terjadi?
Alhamdulillah perpecahan tidak ada di tubuh wahdah. Saya memang sangat menekankan keikhlasan, bahwa siapapun bergabung di sini semata-mata mencari ridha Allah Subhanallah wa Ta'ala, bukan yang lain.

Apakah ada aturan soal keikutsertaan dalam politik praktis?
Ya, kami tidak mengijinkan anggota wahdah untuk ikut partai politik. Kalau ada yang ikut parpol harus dinonaktifkan keanggotaannya.

Namun, kami berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik dengan cara memberikan suara kepada calon anggota legislatif (caleg) atau partai yang kami anggap dapat memperjuangkan aspirasi umat, memperkecil kemudharatan, atau membawa kemaslahatan.

Apakah menurut anda politik rentan memecah belah?
Ya, rentan sekali. Kalau sudah ada tarik menarik kepentingan, masalah pasti muncul. Inilah salah satu hal yang kita jaga. Jangan ada perpecahan karena konflik kepentingan.

Pernah melakukan penonaktifan anggota?
Ada, selama periode ini sudah dua orang yang dinonaktifkan karena bergabung dengan partai politik dan menjadi caleg.

Apa yang membedakan Wahdah dengan ormas Islam lain dalam hal metodologi dakwah?
Kami memadukan kekuatan ilmu Syar'i dengan semangat perjuangan yang tinggi, dibarengi komunikasi dan pembinaan ukuhuwah kepada kaum muslimin pada umumnya. Itulah strategi perjuangan kami.

Bagaimana penjabarannya?
Kami tidak ingin belajar ilmu untuk ilmu. Namun, untuk diamalkan di dakwahkan, lalu diarahkan untuk memperjuangkan Islam. Dalam memperjuangkan Islam, kami tidak boleh sendirian. Kami harus menjaga hubungan baik dengan komponen Islam lainnya, termasuk dengan pemeritah sebagai partner.

Apa yang anda tekankan pada anggota Wahdah?
Kami berusaha komitmen dengan penegakan syariat Islam. Apa yang kami ketahui dari sunnah, benar-benar harus kami amalkan, apalagi yang wajib. Itulah yang selalu saya tekankan kepada anggota Wahdah.

Untuk itu kami melakukan pembinaan secara internal agar setiap kader bisa menjalankan syariat secara penuh, sesuai dengan kemampuannya.

Bagaimana Wahdah berkomunikasi dengan umat Islam di luar Wahdah?
Kami menggunakan pendekatan proses. Ketika ada hal yang berbeda dari objek dakwah, kami tidak serta merta memandang mereka lebih rendah dari kami. Bahkan, kadang-kadang kami mengatakan mungkin mereka lebih baik dalam hal yang lain.

Seperti halnya mengajak masyarakat mengikuti manhaj ahlus sunnah wal jama'ah dan pemahaman salafus shalih. Jika mereka belum bisa melakukan sepenuhnya, tidak boleh menuduh mereka bukan ahlus sunnah, bukan salafi!

Begitu juga ketika ada objek dakwah yang terjebak pada bid'ah, jangan cap mereka sebagai ahli bid'ah. Syaikh Imam Albani Rahimahullah berkata, tidak setiap orang yang jatuh dalam bid'ah berarti ahli bid'ah. Masih ada syarat-syarat lain seseorang disebut ahli bid'ah.

Bagaimana Anda menjaga agar kader Wahdah tidak terjebak pada perbuatan bid'ah?
Kami memiliki dewan syariah yang bisa langsung mengintervensi kebijakan hingga ke tingkat pemula. Dengan cara itu kami berusaha semaksimal mungkin meluruskan apa-apa yang keliru dan bid'ah.

sumber: Hidayatullah.com